Banyak metode yang
bisa mengulas mengenai sejarah dan salah satunya yaitu diakronis dan sinkronik.
Untuk bisa lebih tahu apa yang dimaksud dengan keduanya itu kita akan membahas
satu persatu sebagai berikut:
A.
Sejarah
sebagai diakronis
Diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia artinya melintasi atau
melewati dan khronos yang berarti perjalanan waktu. Dengan demikian, diakronis
dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya dan tidak berdiri sendiri atau timbul secara
tiba-tiba.
Konsep diakronis melihat bahwa peristiwa dalam sejarah mengalami
perkembangan dan bergerak sepanjang masa. Melalui proses inilah, manusia dapat
melakukan perbandingan dan melihat perkembangan sejarah kehidupan masyarakatnya
dari jaman ke jaman berikutnya.
Dalam diakronis perlu dicermati hal berikut :
Dalam diakronis perlu dicermati hal berikut :
1. Dalam konsep berpikir diakronis, mempelajari kehidupan sosial
secara memanjang berdimensi waktu.
2. Konsep berpikir diakronis memandang masyarakat sebagai suatu
yang terus bergerak dan memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat.
3. Menguraikan proses transformasi yang terus berlangsung dari
waktu ke waktu kehidupan masyarakat secara berkesinambungan.
4. Menguraikan kehidupan masyarakat secara dinamis.
5. Digunakan dalam ilmu sejarah.
Sedangkan dalam cara berpikir sinkronis perlu
dicermati hal berikut :
1) Kerangka berpikir sinkronis mengamati kehidupan sosial secara
luas berdimensi ruang.
2) Konsep berpikir sinkronis memandang kehidupan masyarakat sebagai
sebuah sistem yang terstruktur dan saling berkaitan diantara unit yang ada.
3) Menguraikan kehidupan masyarakat secara deskriptif dengan menjelaskan
bagian per bagian.
4) Menjelaskan struktur dan fungsi dari setiap unit dalam kondisi
statis.
5) Digunakan oleh ilmu sosial, seperti geografi, sosiologi,
politik, ekonomi, antropologi, dan arkeologi.
B.
Cara Berpikir
Sinkronik Dalam Mempelajari Sejarah
Sinkronis
artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu. Pendekatan sinkronik
biasa digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Sinkronik lebih menekankan pada
struktur, artinya meluas dalam ruang. Pendekatan sinkronis menganalisa sesuatu
tertentu pada saat tertentu, titik tetap pada waktunya. Ini tidak berusaha
untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan peristiwa yang berkontribusi pada
kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis suatu kondisi seperti itu.
Istilah memanjang dalam waktu itu meliputi juga gejala sejarah yang ada didalam waktu yang panjang itu. Ada juga yang menyebutkan ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas. Beberapa contoh penulisan sejarah dengan topik-topik dari ilmu sosial yang disusun dengan cara sinkronik lainnya misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dan Qodiriyah di pesantren-pesantren Jawa.
Istilah memanjang dalam waktu itu meliputi juga gejala sejarah yang ada didalam waktu yang panjang itu. Ada juga yang menyebutkan ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas. Beberapa contoh penulisan sejarah dengan topik-topik dari ilmu sosial yang disusun dengan cara sinkronik lainnya misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dan Qodiriyah di pesantren-pesantren Jawa.
Ilmu sejarah
dan ilmu-ilmu sosial ini saling berhubungan. Kita ingin mencatat bahwa ada
persilangan antara sejarah yang diakronik dan ilmu sosial lain yang sinkronik.
Artinya ada kalanya sejarah menggunakan ilmu sosial, dan sebaliknya, ilmu
sosial menggunakan sejarah ilmu diakronik bercampur dengan sinkronik. Contoh :
Peranan militer dalam politik (1945-1999) yang ditulis seorang ahli ilmu
politik; Elit Agama dan Politik (1945- 2003) yang ditulis ahli sosiologi.
2.
Periodesasi Sastra Muslim
Berdasarkan periodesasi yang diajukan Harun Nasution di atas, pembabakan Sastra
Islam atau sastra Muslim dapat dipetakan menjadi beberapa periode, yakni klasik
(611-1258 M), pertengahan (1258-1800), dan modern (1800-s.d. sekarang).
Rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama, Periode
Klasik, yakni sastra muslim yang berkembang pada masa Rasulullah
hingga masa hancurnya Bani Abbasiyah. Periode ini dapat dibagi lagi menjadi
beberapa masa lagi, yakni:
·
Masa Rasulullah (23
Tahun, yakni 611-632);
·
Masa Khulafa
al-Rasyidun (30 tahun, yakni 632-661);
·
Masa Daulah Umayyah
(92 tahun, yakni 661-750);
·
Masa Daulah Abbasiyah
(518 tahun, yakni 750-1258). Tahun 1258 ini merupakan titik tonggak peralihan
dari masa klasik ke masa pertengahan dari periodesasi peradaban Islam. Tahun
ini merupakan masa keruntuhan Dinasti Abbasiah yang berpusat di Baghdad karena
serangan pasukan Mongol. Setelah keruntuhan ini, wilayah muslim dikuasai oleh
penguasa-penguasa lokal [sultan atau wazir] yang berpusat di berbagai wilayah
yang tersebar, baik di Timur maupun di Barat, hingga munculnya beberapa
kerajaan besar di berbagai wilayah dunia Islam.
Kedua, Periode
Pertengahan, yakni sastra muslim yang berkembang pada masa 1258-1800.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa setelah keruntuhan Baghdad, sebagai pusat
utama kekhalifahan (kekuasaan politik) muslim, wilayah-wilayah muslim dikuasai
oleh penguasa-penguasa lokal, yang kemudian dikenal sebagai "lima kerajaan
muslim" besar, yakni Turki Utsmani [Eropa], Safawiah-Persia, Mughal-India
[Asia Selatan], Aceh Darussalam (Melayu) dan Mataran Islam (Jawa) [Keduanya
berada di Asia Tenggara]. Semua kerajaan ini tumbuh berkembang di daerah-daerah
periferal [penyangga] dunia Islam, atau tidak muncul di wilayah pusat [Timur
Tengah]. Karenanya, sebagian ahli menganggap masa ini sebagai abad kegelapan
bagi Islam di Timur Tengah. Anggapan ini tidak terlalu salah jika sudut
pandangnya adalah politik; tetapi jika ditelisik dari aktivitas lainnya, Islam
di Timur Tengah tidaklah sesuram yang disajikan dalam bidang politik.
Pada periode ini, kehidupan aktivitas sastra muslim berada pada beberapa
wilayah besar, yakni
·
Sastra muslim pada
wilayah protektorat Turki Utsmani,
·
Sastra muslim di
wilayah Safawiyah-Persia,
·
Sastra muslim di
wilayah Mughal-India,
·
Sastra muslim di
Melayu-Nusantara, dan
·
Sastra muslim di Jawa
(Cirebon, Banten, Demak,Mataran Islam)
·
Sastra muslim di
Sulawesi (Bone dan Tidore)
Ketiga, Periode
Modern, yakni sastra muslim (Islam) yang berkembang pada masa 1800 hingga masa
sekarang. Titik tonggak peralihannya adalah ketika dunia Muslim dikuasai oleh
kolonial dan imperialis Eropa, terutama wilayah-wilayah di Timur Tengah.
Misalnya, Mesir jatuh pada kekuasaan Napoleon Bonaparte pada tahun 1789. Pada
sisi lain, imperialisme Eropa atas dunia Islam ini telah memunculkan berbagai
gerakan pembaharuan dan modernisasi di berbagai wilayah Muslim. Karenanya,
periode 1800 ini dijadikan tonggak masa modern dalam periodesasi sejarah
Muslim.
Periode ini dapat juga dipetakan menjadi beberapa masa:
·
Sastra muslim pada
masa intensif persentuhan Barat terhadap dunia timur [untuk tujuan perdagangan
dan koloni]
·
Sastra muslim pada
masa kolonialisme dan imperialisme Barat atas dunia Timur
·
Sastra muslim pada
masa pembaharuan pemikiran dan pergerakan menuju kemerdekaan
·
Sastra muslim pada
masa revolusi fisik kemerdekaan dunia Islam
·
Sastra muslim pada
masa pasca-kemerdekaan
Pembabakan di atas, sekali lagi, mengikuti periodesasi politik yang terjadi
pada masyarakat muslim.
Menurut Galtung,
sejarah adalah ilmu diakronis berasal dari kata diachronich; ( dia dalam bahasa
latin artinya melalui/ melampaui dan chronicus artinya waktu ). Diakronis
artinya memanjang dalam waktu tetapi terbatas dalam ruang. Sinkronis
artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar