A.
Faktor Perkembangan Sastra
Kekhalifahan Abbasiyah dianggap sebagai
masa keemasan islam (the golden age) baik dalam bidang politik, agama, ekonomi,
sosial, budaya, dan segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada
masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan
pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak
dari berkesenian ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat
resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Abbasiyah inilah prosa
berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan
drama. Bermunculanlah
para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik puisi maupun prosa.
Wilayah kajian sastra tidak hanya puisi dan prosa tetapi sudah meluas dalam
bidang karya tulis lainnya. Sastrawan pada masa ini dianggap sebagai gudangnya
ilmu pengetahuan.
Masa keemasan Abbasiah pada berbagai
bidang membawa kemajuan pesat dalam bidang sastra. Saat ini dapat dikatakan
pula sebagai masa keemasan kesusastraan Muslim masa klasik. Heterogintas etnis,
suku bangsa, dan bahasa yang ada dalam naungan dinasti ini telah membawa pada
heterogonitas bahasa dan bentuk sastra. Heterogenitas ini membawa pada kekayaan
khazanah Islam pada masa ini. Saat ini, popularitas bahasa Arab sebagai bahasa
resmi negara semakin menyebar, tetapi mendapatkan penyeimbangnya dari
bahasa-bahasa pendu
duk lainnya, seperti bahasa Persia, Turki, dan India. Hanya saja, dalam sudut pandang para linguist Arab, masa ini merupakan titik awal masa kemunduran bahasa Arab karena secara sosial terjadi kemajemukan dalam struktur masyarakat, sehingga gharizah (watak) kebahasaan bangsa arab mengalami kemunduran,
duk lainnya, seperti bahasa Persia, Turki, dan India. Hanya saja, dalam sudut pandang para linguist Arab, masa ini merupakan titik awal masa kemunduran bahasa Arab karena secara sosial terjadi kemajemukan dalam struktur masyarakat, sehingga gharizah (watak) kebahasaan bangsa arab mengalami kemunduran,
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi perkembangan dunia
sastra pada masa dinasti Abbasiyah, yakni 1) stabilitas politik, 2) kemajuan
sektor ekonomi (kesejahteraan masyarakat), 3) Berkembangnya sistem pendidikan
dan meningkatnya semangat pengembangan ilmu pengetahuan, 4) interaksi antar
budaya dan peradaban yang semakin meningkat, dan 5) Popularitas para sastrawan,
6) kualitas karya sastra semakin meningkat,
dan 7) perkembangan variasi genre sastra, 8) apresiasi masyarakat dan
pemerintah yang tinggi terhadap karya sastra.
Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk kekuasaan tertinggi islam,
terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, pada porsi tertentu antara
politik dan sastra saling mempengaruhi. Pergeseran paling fundamental terjadi
ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi arab kental ke
Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan
kekuasaan politik dipengaruhi peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah
berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari menteri,
pengadilan, sampai panglima prajurit.
Puncak kekuasaanpun tidak lagi terbatas pada keturunan arab. Kondisi
politik seperti ini sangat mungkin memepengaruhi perkembangan aktivitas sastra
ketika itu, karena para syua’ra adalah orang terdekat khalifah di lingkungan
istana setelah menteri dan struktur pemerintah lainnya.
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan
dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur
ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke
Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap
daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi
budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style
kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah
diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka.
Seniman-seniman terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin
Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan
dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya
pelyan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki
seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
Pengaruh budaya seperti ini berkembang
tidak di seluruh negeri tapi hanya di lingkungan istana dan petinggi-petingi
negara, adapun masyarakat umum berada dalam beragam kondisi perubahan sosial,
bahkan dari kelas masyarakat umum muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi
jahili yang berkembang di lingkungan istana dikenal dengan nama “Harakah al
Zuhd“.
Faktor lain berkembangnya peradaban di era Abbasiyah ditandai dengan
bergeliatnya aktivitas intelektual masyarakat islam. Kegiatan intelektual
seolah-olah menjadi makanan wajib. Kondisi ini dipengaruhi terbukanya pintu
intelektual islam dengan masyarakat dunia lainnya. Pemerintah sangat mendukung
semua aktivitas keilmuan hal itu di realisasikan dengan pendirina pusat
penterjemahan literatur asing ke Bahasa Arab. Al-Mansur adalah khalifah pertama
menggiatkan aktivitas astronomi dan menetapkan kegiatan kerja kerajaan mengacu
pada hukum-hukum astronomi. Abu Ja’far al Mansur juga khalifah pertama yang
menerjemahkan literatur asing ke bahasa arab diantaranya karya-karya
Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.
Bait al-Hikmah di masa Harun al-Rasyid telah menjadi pustaka dunia yang
menyimpan beribu-ribu literatur asing Romawi, Yunani, Parsi dan India kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Kemajuan ini diikuti dengan lahirnya ribuan
Ulama dan sastrawan. Baghdad berubah menjadi mercusuar peradaban dan tujuan
cendikiawan dan pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri. Kita kenal Khalil bin
Ahmad al Farahidy sebagai peletak pertama Mu’jam Lughawy dengan kitabnya Mu’jam
al ‘Ain. Dalam ilmu Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafii, dan
Ahmad bin Hanbal. Dalam kajian sejarah,
Ibnu Sa’ad dengan karyanya al Tabaqat al Qubra, Akhbar al Khulafa’. Pendek kata
semua lini keilmuan mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Faktor politik, sosial dan arus
intelektualisme yang tumbuh dan berkembang pesat sudah tentu mempengaruhi
aspek-aspek penting dalam kehidupan sastra masa itu. Khususnya dalam Syair,
setidaknya dikenal dalam literatur Adab Abasiyah bermacam-macam Agrad
(tujuan/orientasi) syair, seperti al Madah (pujian), al Hija’ (sindiran), al
Fakhr (pengagungan), ar Rasa’ (ratapan), al Ghazal (rayuan), al Wasfy
(pensifatan), az Zuhd (zuhud), al ‘Itab wa al ‘Itizar (teguran dan pembelaan),
as Syi’ry al Ta’limy (sya’ir pengajaran), as Syi’ry al Fakahy (sya’ir humor).
Pengaruh kebudayaan asing yang hadir dan masuk dalam sastra arab diantaranya
buku al Maydan karya Ulan as Sya’uby al Faris, sebuah karya sastra hasil
asimilasi dua peradaban besar Arab dan parsi.
Diantara Syu’ara’ terkenal yang
dilahirkan dari rahim peradaban besar ketika itu diantaranya Basyar bin Bard,
Abu Nawas, Marwan bin Abi Hafshah, Abu ‘Atahiyah, Muslim bin Walid, Abdullah
bin Marwan bin Zaidah, Muhammad bin Hazim al Bahily dan ribuan sastrawan
lainnya. Lingkungan sosial dan intelektual yang dinamis dalam peradaban dan
khazanah keilmuwan islam telah mengantarkan perkembangan pesat dalam dunia
sastra, tidak saja Syair yang menjadi konsentrasi para aktivis sastra namun
juga retorika dalam pidato kenegaraan maupun khutbah Jumat. Pendeknya semua
aktivitas intelektual mendapatkan posisi strategis dan berkembang sangat baik
dan dinamis pada masa itu. Sastrawan Masa Abbasiah
Philip K Hitti dalam bukunya History of
The Arabs mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman
Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad.
Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al Hayawan (Kitab Hewan).
Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu
antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al-Bukhala, yang
merupakan kajian tentang karakter manusia
B.
Tokoh-tokoh Sastrawan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Perkembangan
sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar
abad ke-10. Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu
Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al
Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan
oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar
400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.
Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri,
lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani
sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan
anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi
yang ada di tengah masyarakat.
Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat
berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah
terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia
lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo,
Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan
sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai
sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.
Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun,
menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking
berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al
Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj
sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya
yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun
di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.
Awalnya, ini merupakan karya Persia
klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India.
Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan
lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al
Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.
Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara
973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan
para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan
pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan
pengaruh kepada Spanyol.
Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat
yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang
lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William
Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko
yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran
Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan
martabat kerajaan.
C.
Genre Sastra masa Abbasiyah
Secara garis besar sastra arab
dibagi atas dua bagian yaitu prosa dan syair. Prosa terdiri atas atas beberapa
bagian, yaitu:
·
Kisah (Qisshah), Kisah adalah cerita
tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun
menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah meliputi Hikayat, Qissah
Qasirah dan Uqushah. Kisah yang berkembang pada masa abbasiyah tidak hanya
terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang
lebih luas, seperti kisah filsafat.
·
Amsal (peribahasa) dan Kata mutiara
(al-hikam) adalah ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan
bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amsal dan kata mutiara pada
masa abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan pada hal yang berhubungan
dengan filsafat, sosial, dan politik. Tokoh terkenal pada masa ini adalah Ibnu
al Muqoffal.
·
Sejarah (tarikh),atau riwayat (sirah)
Sejarah atau riwayat mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang
dilakukan para tokoh terkenal karya sastra yang terkenal dalam bidang ini
antara lain: adalah mu’jam al Buldan (ensiklopedi kota dan negara) oleh Yaqut
al Rumi (1179-1229). Tarikh al hindi (sejarah india) oleh al Biruni (w.448 H/
1048 M). Karya Ilmiah (Abhas ‘Ilmiyyah) Karya ilmiah mencakup berbagai bidang
ilmu. Karya terkenal yang berkenaan dengan hal ini adalah kitab al Hawayan
(buku tentang hewan).
Pada masa ini, muncul genre prosa
pembaruan (النثرالتجديدي) yang nakhodai oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga
prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal
dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلةوليلة). Dalam dunia puisi
juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul
Atahiyah.
Selain prosa dan puisi, seni
korespondensi juga mengalami peningkatan, hal ini karena luasnya wilayah
kekuasaan Abbasiyah dari timur ke barat yang tentunya membutuhkan konsolodasi
antar wilayah dengan surat-menyurat. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Abu
Al Fida Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994
M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar